Cara Mengelola Emosi dan Sikap dalam Investasi Saham: Pelajaran dari Behavioral Finance dengan Studi Kasus Saham di BEI

Ketika saya pertama kali mulai berinvestasi di pasar saham, saya mendapati bahwa tantangan terbesar bukanlah tentang bagaimana cara memilih saham yang tepat atau menghitung potensi keuntungan, melainkan bagaimana mengelola emosi dan sikap saya sendiri. Seperti banyak investor pemula, saya sering kali terbawa perasaan saat melihat harga saham turun drastis atau terlalu bersemangat saat saham favorit saya melonjak tajam.

Setelah beberapa kali menghadapi penurunan yang menyakitkan dan kesuksesan yang membingungkan, saya menyadari bahwa behavioral finance—yang mempelajari bagaimana psikologi manusia memengaruhi keputusan keuangan—adalah kunci untuk menjadi investor yang lebih baik.

Dalam artikel ini, saya akan berbagi cara mengelola emosi dan sikap dalam investasi saham, dengan mengacu pada teori behavioral finance. Selain itu, saya juga akan menyertakan studi kasus nyata dari Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menggambarkan bagaimana perilaku investor dapat memengaruhi keputusan investasi.

Mari kita mulai dengan pengalaman pribadi yang mungkin juga kamu rasakan ketika pertama kali berinvestasi di saham.

Daftar isi

Pengantar: Mengapa Emosi Sangat Mempengaruhi Keputusan Investasi?

Dalam dunia investasi, emosi memainkan peran besar. Ketika harga saham naik, rasa serakah sering kali muncul, mendorong kita untuk membeli lebih banyak tanpa analisis yang mendalam. Di sisi lain, ketika pasar jatuh, perasaan takut dan panik membuat kita terburu-buru menjual saham, bahkan ketika itu berarti rugi besar. Behavioral finance membantu kita memahami bahwa emosi-emosi ini sering kali menyebabkan keputusan yang tidak rasional, dan pada akhirnya merugikan.

Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi yang mempelajari behavioral finance, mengajarkan bahwa manusia secara alami lebih takut mengalami kerugian daripada menikmati keuntungan—sebuah fenomena yang disebut loss aversion.

Saya ingat pertama kali membeli saham di BEI, ketika harga saham yang saya pegang turun 10% hanya dalam dua hari. Panik, saya langsung menjualnya tanpa berpikir panjang, hanya untuk melihat harga saham tersebut melonjak kembali sebulan kemudian. Kejadian ini mengajarkan saya pentingnya mengelola emosi dalam berinvestasi.

1. Cara Mengelola Rasa Takut (Fear) dalam Investasi Saham

Rasa takut adalah salah satu emosi paling kuat yang sering saya rasakan, terutama ketika pasar sedang jatuh. Sebagai contoh, pada Maret 2020, di awal pandemi COVID-19, pasar saham global termasuk BEI mengalami penurunan tajam. Saham-saham blue chip seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) anjlok hingga puluhan persen dalam waktu singkat.

Baca juga  Apa itu Literasi Keuangan dan Bagaimana Strategi Mencapainya?

Saya ingat ketika harga saham BBCA turun dari sekitar Rp 33.000 ke Rp 23.000 dalam beberapa minggu (waktu pertama Covid-19). Rasa takut yang muncul mendorong banyak investor untuk melakukan aksi jual besar-besaran, khawatir bahwa krisis ini akan berlangsung lama dan nilai investasi mereka akan terus menurun. Saya pun hampir ikut terbawa arus, tetapi saya mencoba mengingat prinsip dari behavioral finance: takut bukanlah alasan untuk mengambil keputusan jangka panjang.

Tips Mengelola Rasa Takut: Fokus pada Fundamental, Bukan Fluktuasi Jangka Pendek

Salah satu cara yang saya temukan untuk mengelola rasa takut adalah dengan fokus pada fundamental perusahaan dan menghindari terjebak dalam fluktuasi jangka pendek. Meskipun harga saham BBCA turun drastis, saya tahu bahwa fundamental perusahaan tetap kuat, dengan basis nasabah yang besar dan kinerja keuangan yang stabil. Dengan fokus pada jangka panjang dan menahan diri untuk tidak menjual dalam kepanikan, saya akhirnya melihat harga saham BBCA kembali pulih hingga lebih dari Rp 30.000 dalam beberapa bulan setelahnya.

2. Mengelola Rasa Serakah (Greed) dalam Investasi Saham

Sebaliknya, rasa serakah sering kali muncul ketika pasar sedang dalam tren naik. Kita merasa terlalu optimis dan cenderung membeli saham lebih banyak dengan harapan harga akan terus naik. Namun, sering kali, rasa serakah ini membuat kita mengabaikan risiko dan tanda-tanda bahwa pasar mungkin sudah overvalued.

Contoh Kasus: Saham PT Indofarma Tbk (INAF)

Pada tahun 2020, saham sektor farmasi seperti PT Indofarma Tbk (INAF) melonjak tajam karena berita bahwa perusahaan tersebut akan memproduksi alat kesehatan dan obat-obatan terkait pandemi COVID-19. Banyak investor, termasuk saya, merasa tergiur dengan kenaikan harga yang luar biasa. Dalam beberapa minggu, saham INAF naik dari Rp 1.000 menjadi lebih dari Rp 5.000 per lembar. Tanpa berpikir panjang, saya ikut membeli saham ini karena takut ketinggalan (fear of missing out).

Namun, tidak lama kemudian, saya melihat harga INAF mulai turun tajam. Saya tidak segera menjual karena rasa serakah masih mendominasi, berharap harga akan naik kembali. Hasilnya, saya harus menanggung kerugian yang signifikan ketika harga saham tersebut jatuh kembali ke level di bawah Rp 3.000.

Tips Mengelola Rasa Serakah: Tetap Rasional dan Punya Target Keuntungan

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa penting untuk tetap rasional dan menetapkan target keuntungan sebelum masuk ke pasar. Jika saham sudah mencapai target harga yang saya tetapkan, saya akan menjualnya dan tidak terjebak dalam harapan bahwa harga akan terus naik. Selain itu, saya selalu melakukan analisis fundamental yang mendalam untuk memastikan bahwa kenaikan harga saham didukung oleh kinerja perusahaan, bukan hanya spekulasi pasar.

Baca juga  Invest in What You Know: Strategi Sederhana Peter Lynch dalam Memilih Saham Berkualitas

3. Menghindari Overconfidence (Terlalu Percaya Diri) dalam Investasi

Overconfidence, atau terlalu percaya diri, adalah jebakan psikologis lain yang sering saya alami. Setelah beberapa kali sukses dalam memilih saham yang naik, saya mulai merasa bahwa saya “ahli” dalam investasi. Saya mulai mengambil risiko yang lebih besar tanpa melakukan analisis mendalam, berpikir bahwa pasar akan selalu berpihak pada saya.

Contoh Kasus: Saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA)

Setelah mengalami keuntungan yang cukup signifikan dari beberapa saham di sektor pertambangan, saya memutuskan untuk membeli saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) pada awal 2021 tanpa banyak analisis. Harga saham ini memang sedang naik pesat, dan saya merasa sangat percaya diri bahwa tren ini akan terus berlanjut. Namun, harga saham PTBA tiba-tiba mengalami koreksi tajam, dan saya terjebak dalam posisi yang merugikan.

Tips Mengelola Overconfidence: Selalu Lakukan Riset dan Diversifikasi

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa diversifikasi adalah kunci untuk mengelola risiko dan overconfidence. Saya juga memastikan untuk selalu melakukan riset, meskipun saya merasa sudah cukup tahu tentang sektor tertentu. Jangan pernah menganggap diri terlalu pintar dalam berinvestasi—pasar selalu bisa berubah dengan cepat, dan keputusan terbaik adalah yang berdasarkan analisis, bukan intuisi semata.

4. Mengelola Bias Konfirmasi (Confirmation Bias)

Bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk hanya mencari informasi yang mendukung pandangan atau keputusan kita, dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Saya pernah mengalami bias ini ketika sudah memutuskan untuk membeli saham tertentu, lalu hanya mencari berita positif tentang saham tersebut dan menutup mata terhadap risiko yang mungkin muncul.

Contoh Kasus: Saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA)

Pada pertengahan 2019, saya tertarik dengan saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) karena adanya berita tentang potensi ekspansi dan perbaikan manajemen. Saya mulai membeli sahamnya, tetapi gagal memperhatikan masalah keuangan yang dihadapi perusahaan. Bias konfirmasi membuat saya terus mencari berita positif yang memperkuat keputusan saya untuk membeli, sementara saya mengabaikan laporan keuangan yang menunjukkan peningkatan utang dan kerugian operasional.

Baca juga  Apa Itu Expected Return Investasi dan Bagaimana Menghitungnya? [Investor Saham Pemula]

Pada akhirnya, saya harus menghadapi kenyataan bahwa saham GIAA terus turun karena masalah keuangan perusahaan yang semakin memburuk.

Tips Mengelola Bias Konfirmasi: Cari Informasi yang Berimbang

Untuk menghindari bias konfirmasi, saya kini selalu mencari informasi yang berimbang, termasuk berita dan analisis yang mungkin bertentangan dengan pandangan awal saya. Dengan mendengarkan pendapat dari berbagai sumber, saya bisa membuat keputusan investasi yang lebih objektif dan terhindar dari keputusan yang bias.

Kesimpulan

Mengelola emosi dan sikap dalam investasi saham adalah keterampilan yang penting dan harus terus diasah. Dengan memahami konsep behavioral finance, seperti rasa takut, serakah, overconfidence, dan bias konfirmasi, saya bisa membuat keputusan investasi yang lebih baik dan lebih rasional.

Studi kasus dari saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang saya bagikan di atas menunjukkan betapa pentingnya mengelola emosi dalam berbagai situasi pasar. Jika kamu juga ingin menjadi investor yang lebih baik, mulailah dengan belajar mengenali emosi yang muncul saat berinvestasi, dan cobalah menerapkan beberapa tips di atas.

Ingatlah, sukses dalam investasi bukan hanya tentang memilih saham yang tepat, tetapi juga tentang mengelola emosi dan membuat keputusan yang rasional. Semoga pengalaman dan tips ini bisa membantumu menjadi investor yang lebih baik!

Iklan

Melalui buku ini, Anda akan belajar bagaimana Membangun kekayaan Melalui Investasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *